5/25/2016

Siska Yuniati Presentasi Esai Gerakan Literasi Sekolah pada Penutupan Bengkel Bahasa 2016 BBY

Fotografer: Rusmantara
Bantul, Abasrin.comDalam berbagai survei tentang literasi, Indonesia selalu menempati rangking bawah, bahkan hampir buncit di antara negara-negara di dunia. Merespons permasalahan itu, Mendikbud Anies Baswedan pun melaunching Gerakan Literasi Sekolah (GLS) tahun 2015 lalu. Hingga saat ini, gaungnya secara perlahan merambat dari sekolah ke sekolah.

Di Kabupaten Bantul sendiri, 50 persen sekolah/madrasah disinyalir telah melaksanakan program tersebut, yaitu mewajibkan siswa membaca buku nonpelajaran minimal 15 menit per hari.

Menanggapi gerakan itu, Siska Yuniati, guru MTs Negeri Giriloyo, menulis esai "Guru Bahasa Indonesia Ujung Tombak Literasi Sekolah?" dalam perannya sebagai peserta Bengkel Bahasa dan Sastra Balai Bahasa (BBY) 2016. Atas tulisannya itu, Siska menjadi satu dari dua peserta terpilih kategori esai untuk mempresentasikan tulisannya dalam acara penutupan Bengkel Bahasa dan Sastra 2016 yang digelar di Aula SMKN 1 Sewon (24/5).

Hadir dalam kesempatan itu, seluruh peserta dari kelas esai dan cerpen, para mentor, pewakilan BBY, serta Kepala Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul. Dalam paparannya, Siska mengungkapkan, gerakan literasi perlu diikuti penyediaan bahan bacaan yang memadai dan penyiasatan pemanfaatan bahan pustaka tersebut.

Selain itu, yang lebih utama menurut Siska adalah kesertaan guru dalam program. Seorang guru hendaknya menjadi teladan dalam gerakan ini. Di sini, guru bahasa memiliki peran strategis dalam penyuksesan program.

"Guru bahasa bagi saya merupakan ujung tombak dalam Gerakan Literasi Sekolah. Sebuah tombak akan dapat bekerja maksimal hanya ketika ujungnya lancip dan tajam. Oleh karena itu, jika siswa diwajibkan membaca buku nonpelajaran minimal 15 menit per hari, sepantasnya guru lebih dari itu," papar Siska ketika ditemui pasca-acara.

Guru bahasa Indonesia MTsN Giriloyo ini mengaku dirinya telah memulai program untuk menjadi ujung tombak tersebut. Di antara tindakan yang dilakukannya adalah selalu menyediakan anggaran pribadi untuk membeli buku, membiasakan membawa buku di kelas, dan membiasakan diri menulis.

"Saya sengaja membawa buku-buku bagus ke kelas. Sebagian siswa biasanya penasaran dan bertanya tentang buku saya bawa, sebagian yang lain diam saja. Saya yakin kebiasaan itu masuk dalam memori para siswa. Beberapa kali saya survei ke perpustakaan, buku-buku yang pernah dibawa terlihat lusuh karena sering dijamah untuk dibaca. Bahkan saya sering menyaksikan langsung siswa membacanya," jelas Siska.

Pada kesempatan tertentu, Siska menyempatkan diri menyampaikan isi buku yang dibaca. Dengan teknik ini, Siska berkesimpulan, pengaruh yang dihasilkan lebih kuat.

Aktivitas yang juga erat kaitannya dengan membaca adalah menulis. Seorang penulis lazimnya membaca jauh lebih banyak dari tulisan yang dikerjakannya. "Untuk menulis satu esai, misalnya, saya membutuhkan paling tidak tiga bacaan," jelasnya.

Lebih jauh lagi, Siska mengungkapkan, peran guru sangat besar dalam meningkatkan minat baca siswa. "Berkaca pada apa yang saya alami, guru punya tugas besar dalam memilih dan memilah bahan bacaan untuk siswa kemudian memprovokasi siswa untuk membacanya," pungkasnya.

Bengkel Bahasa dan Sastra merupakan program tahunan Balai Bahasa Yogyakarta untuk meningkatkan kompetensi guru bahasa. Di Bantul, BBY membuka kelas esai dan cerpen untuk guru SMP/MTs. Di kelas esai, terdapat 37 guru yang disertakan sementara kelas cerpen 35 guru. Kelompok ini mengikuti pelatihan selama enam pekan dalam kurun April-Mei 2016. Di akhir acara, dua peserta dari kelas esai dan dua dari kelas cerpen diminta presentasi dalam kelas gabungan. (pjl)