M. Hilmi Setiawan, jawapos.com
Pahamilah agama sebagai organisasi, akan kaudapati enam agama di republik ini. Pahamilah agama sebagai jalan menuju Dia, akan kaudapati jumlah agama yang sama dengan jumlah penduduknya.
ITULAH kutipan pemungkas di esai karya Kukuh Purwanto berjudul "Perihal Toleransi: Upaya Menjadi Rahmat bagi Semesta". Kutipan tersebut diambil dari petuah Pak Rukin, guru mengajinya. Esai itulah yang mengantarkan Kukuh menjadi juara pertama Lomba Esai Budaya Damai 2015 Kemdikbud. Mengalahkan ratusan karya esai yang masuk ke meja panitia.
Kukuh juga berhasil merebut juara ketiga Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015 yang dihelat pula oleh Kemdikbud. Cerita rakyat yang dia buat merujudul "Keris, Melati, dan Apa-Apa yang belum Kau Ketahui di Balik Itu". Cerita rakyat tersebut mengisahkan dendam kesumat Arya Penangsang.
Di balik prestasi menulisnya yang gemilang itu, Kukuh sehari-hari bekerja sebagai tukang kaca di sebuah toko kaca di daerah Cepu, Blora, Jawa Tengah. Anak tunggal pasangan Budi Santoso (almarhum) dan Sri Muningkah tersebut bekerja sebagai tukang kaca mulai pukul 8 pagi sampai 5 sore. "Gaji saya sebagai tukang kaca 1,2 juta rupiah per bulan," katanya seusai penganugerahan di kantor Kemdikbud, Jakarta, 11 November lalu.
Gaji itu bagi Kukuh sudah lumayan cukup untuk hidup sehari-hari. Dia berbagi nafkah bersama ibunya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Saat ini sudah masuk tahun kedua dia bekerja sebagai tukang memecah kaca.
Untuk menyelesaikan karya esai dan cerita rakyat tadi, Kukuh menyatakan mengalami hambatan kecil. Lulusan SMAN 1 Cepu tersebut mengaku tidak memiliki laptop. Dia juga tidak punya waktu untuk menulis di rental komputer atau warung internet (warnet) sekitar rumah.
Tiap kali pulang kerja, badannya sudah lelah. Namun, Kukuh menyiasati hambatan itu dengan menulis di handphone (HP) Android miliknya. "Saya sempatkan menulis paragraf demi paragraf ketika konsumen kaca sedang sepi," ungkap pemuda kelahiran Tangerang, 28 Juni 1989 itu.
Khusus untuk penulisan cerita rakyat tentang Arya Panangsang, Kukuh menyelesaikan sekitar dua minggu. Setelah selesai diedit, karyanya langsung di-e-mail-kan ke panitia lomba, juga melalui HP. Waktu paling lama dia gunakan untuk pengeditan. Dalam proses tersebut, Kukuh banyak dibantu kekasihnya, Mita Idatul. Rencananya mereka menikah bulan depan.
Kukuh menceritakan, ide menulis cerita Arya Penangsang awalnya didapat dari membaca buku. Dia mengatakan setiap bulan harus bisa membeli buku minimal satu judul. Bisa buku baru atau buku lama yang dijual di lapak-lapak kaki lima. Saat ini total koleksi bukunya mencapai 500 judul.
Kukuh mengaku tidak terlalu kesulitan untuk mengangkat cerita Arya Penangsang. Sebab, itu cerita rakyat dari Cepu, tempatnya berdomisili. "Ibu saya juga sering menceritakan kisah ini," kata penghobi baca buku sejak SMA itu.
Untuk membuat karyanya semakin berwarna, Kukuh melakukan improvisasi atau pengembangan di alur penceritaan. Umumnya cerita rakyat memiliki alur maju. Tetapi, dia memilih membawakan kisah Arya Penangsang dalam alur cerita mundur. Dia memosisikan diri sebagai orang pertama, tetapi tidak terlibat langsung dalam cerita. Sebagai penulis, Kukuh memosisikan diri sebagai narator cerita.
Pesan yang ingin dia sampaikan dalam cerita rakyat Arya Penangsang itu adalah manusia jangan sampai hidup dalam dendam. Apalagi sampai memelihara dendam di dalam hati. Sebab, manusia bisa rusak sendiri jika harus hidup dengan dendam.
Kalau di cerita rakyat Kukuh memilih kisah berdarah-darah, sebaliknya di esai dia menghadirkan pesan yang adem. Yaitu tentang pentingnya menjaga toleransi beragama di Indonesia. Di dunia pendidikan, dia berharap pemahaman keberagamaan tidak sebatas nilai. "Tetapi, lebih dari itu, siswa juga perlu dipahamkan tentang esensi beragama," tuturnya.
Kukuh menyatakan banyak belajar mengenai toleransi beragama dari sosok guru mengajinya, Pak Rukin. Sehari-hari Pak Rukin bekerja sebagai tukang potong rambut. "Pak Rukin mengajari saya bagaimana memahami esensi beragama. Pesan-pesannya ngena sekali," paparnya.
Plt Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemdikbud Hari Widianto mengatakan, karya-karya cerita rakyat menjadi semacam oase. Menurut dia, saat ini Indonesia kekurangan karya cerita rakyat maupun komik. "Jadilah, anak-anak sekarang tahunya komik Doraemon," ucapnya. (*/c9/ttg).