6/11/2016

Proteksi Guru

writeopinions.com
Ki Sugeng Subagya

SEORANG guru honorer di Kalimantan Barat, Jamilah, mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orangtua murid di sekolah tempatnya mengajar. Orangtua murid tersebut mencukur rambut Jamilah karena merasa tidak terima rambut anaknya dipotong oleh guru. Sebelumnya, guru SMP Negeri 1 Bantaeng, Nurmayani, dibui di Rumah Tahanan Kelas II Bantaeng, Sulawesi Selatan, karena mencubit paha siswi yang tidak melaksanakan Salat Dhuha.

Kasus guru mendapat perlakuan tidak menyenangkan ketika sedang menjalankan profesinya tidak hanya sebatas yang tersebut di atas. Masih ada kasus lain, baik yang terungkap maupun tidak. Hal ini menunjukkan bahwa guru rentan kriminalisasi ketika menjalankan profesinya.

Profesi guru sering berada pada ranah dilematis antara tuntutan profesi di satu pihak dan persepsi masyarakat pada pihak yang lainnya. Guru sebagai pendidik dan pengajar dituntut mengantarkan anak didik menuju kedewasaan jiwa dan raga dengan berbagai aspeknya. Percaya diri, tangguh, jujur, dan disiplin merupakan pilar utama membangun kedewasaan anak didik. Ketika kedisiplinan ditumbuhkan pada anak didik melalui reward and punishment (ganjaran dan hukuman) sebagai alat pendidikan sering berbenturan dengan kenyataan.

Masyarakat yang didukung pranata tertentu, misalnya Hak Asasi Manusia (HAM) dan Perlindungan Anak (PA), menganggap hukuman yang dijatuhkan guru sebagai tindakan melanggar HAM dan menabrak PA. Terlebih apabila di dalam keluarga anak-anak mendapat proteksi berlebihan dari kedua orangtuanya, maka tindakan guru yang sebenarnya dalam kerangka mendidik diasumsikan sebagai tindakan kriminal menganiaya anak.

Saatnya guru mendapat proteksi dalam menjalankan profesinya. Sebagaimana anak telah diproteksi oleh Undang Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jangan sampai maksud mendidik dengan menempatkan anak didik dalam barisan tersendiri ketika terlambat mengikuti upacara bendera dikategorikan sebagai melanggar HAM.

Guru telah memiliki Kode Etik Guru Indonesia. Tetapi hal itu belum cukup untuk memproteksi profesi guru. Kode Etik Guru Indonesia hanya mengatur tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan guru dalam menjalankan profesinya. Ketika tindakan guru dalam rangka mendidik tidak diterima masyarakat, sangat terbuka untuk masuk ranah kriminal.

Undang Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, belum cukup memproteksi profesi guru. UU Guru dan Dosen menyatakan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan yang dimaksud perlindungan profesi sebatas perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang undangan yang berlaku. Pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya.

Sehubungan dengan itu, perlu undang undang perlindungan profesi guru (UU PPG). Dalam UU PPG harus tegas diatur tindakan mendidik yang tidak sama dengan tindakan kriminal. Jika guru melakukan tindakan mendidik dengan menggunakan hukuman sebagai alat pendidikan maka tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang dapat dijerat dengan ketentuan UU manapun, termasuk UU PA, UU HAM, dan KUHP. Namun jika guru melakukan tindakan kriminal yang tidak termasuk dalam tindakan mendidik maka UU PA, UU HAM, dan KUHP berlaku.

Sebagai profesi, guru harus mendapat pengakuan karena keahliannya. Karena keahliannya guru dapat menggunakan hukuman sebagai alat pendidikan. Hukuman sebagai alat pendidikan bukan untuk membuat jera atau ngapokke (Jawa), tetapi untuk menunjukkan buahnya perbuatan. Perbuatan baik berbuah baik, perbuatan buruk berbuah buruk. Oleh sebab itu Ki Hadjar Dewantara wanti-wanti, hanya boleh menggunakan hukuman sebagai alat pendidikan jika dipenuhi tiga syarat: (1) hukuman harus segera dijatuhkan, (2) hukuman harus setara dengan kesalahannya, dan (3) hukuman harus adil.

Penulis adalah Anggota Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa dan Sekretaris Badan Musyawarah Perguruan Swasta/BMPS DIY). Tulisan ini terbit pertama kali di harian Kedaulatan Rakyat edisi 10 Juni 2016.

Administrator Abasrin.com